Di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda
yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Ia adalah
Mush’ab bin Umair. Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah.
Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di
akhirat.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau
lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun 571
M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan pada tahun 585
M.
Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin
Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi.
Dalam
Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah
seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat
menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah
sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah
orang Mekah yang paling harum sehingga semerbak aroma parfumnya meninggalkan
jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ
حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya,
paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari
Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana
makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makana sudah
ada di hadapannya.
Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang mendapatkan
banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan
kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.
Menyambut Hidayah Islam
Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah,
sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah
radhiyallahu
‘anhum. Kemudian diikuti oleh beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi
terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu kian menguat, Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah al-Arqam bin
Abi al-Arqam
radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit
Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.
Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala,
pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya,
sehingga ia mampu membedakan manakah agama yang lurus dan mana agama yang
menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan nenek
moyang semata. Dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk
Islam. Ia mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah
al-Arqam dan menyatakan keimanannya.
Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang lain,
untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit tersebut, ia
tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah pengetahuannya tentang
agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat yang
paling dalam ilmunya. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.
Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah
kepada Allah
Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada
ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa
dengan kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab
kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum
serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang
dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin
Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar,
“Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa
dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan
meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di
tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya
diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya
yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya.
Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang
dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas
satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali
bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan
mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan
yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya
sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).
Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu
muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang
tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat
dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan
beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang
tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam
fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan
dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah dan
menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).
Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang
tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia
mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat
kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu
sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami
papah dia.” (
Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal:
659).
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami
penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan
tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan
pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik
sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia
alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang
sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur
di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia
alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.
----------------Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang
Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat
sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud.
Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah
al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas
tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca
ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ
الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang
kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera
tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ
الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah
Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib
(Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah
membunuh Muhammad”.
Setelah perang usai, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah
Perang Uhud usai, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari
sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid
dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan
untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ
عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا
بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan
di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah
(janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah
syuhada di sisi Allah.
Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu
ketika di Mekah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi
penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain
burdah.”
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai
burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya.
Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga
Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah
dengan rumput idkhir.”
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya
40 tahun.
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu
‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia
berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku.
Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no.
1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang
dihidangkan.
Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya
meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami tutupkan
kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka
kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan kami agar menarik kain ke arah
kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).
Penutup
Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan bagi
pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada
artinya dibanding dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan semua kemewahan dunia
ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk mendapatkan ridha Allah.
Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin
Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf
wa asy-Syu-un al-Islamiyah
From : kisahislam.com